Postingan

Cerbung I

Fanderland, Pulau Mimpi yang Merenovasi Hidupnya Oh, sungguh malang nasib g adis kecil dekil itu. Tak ada lagi yang bisa menyenangkannya. Mungkin, hanya bintang yang membuatnya tetap merasa hidup. Atau karena kesabaran yang ditanam ibunya ke dalam dirinya sejak lahir? Entah. Di beberapa meter dari letak pohon mangga, ia merebahkan tubuhnya ke tanah. Langit buncah bintang-bintang yang berpendar. Matanya redup memandang. Ia menenggelamkan dirinya dalam khayalan; mengawan bersama bintang-bintang itu di angkasa. “Tidak ada yang lebih indah daripada langit malam yang bertabur bintang itu. Ditemani bulan yang juga amat terang. A pakah ibu juga ada di salah satu bintang-bintang itu? Atau dia lebih jauh lagi di lipatan langit tertinggi? Kepada siapa aku bisa mendapat jawabannya? Siapa? Mengapa Kau tidak menciptakan aku hidup bersama bintang-bintang itu, Tuhan? Padahal aku juga ingin tinggal di sana. Mengapa aku terlahir di tempat seperti ini? Mengapa tuhan begitu tidak adil pada

kepingan masa lalu

Sepatah kalimat Setelah sepuluh tahun berlalu. Aku kembali mengunjungi penjara suci itu. Tempat mengukir masa-masa menjadi santri. Tiga tahun merajut prestasi. Dan ketika aku kembali hari ini, aku bertemu lagi dengan sang pencerah yang kini sudah berambut putih. Dia duduk di bawah rumah kayu tepat di atas benda yang mirip ranjang itu. Ketika hendak berjalan menghampirinya. Tiba-tiba terdengar teriakan yang menyebut namaku. Spontan, aku menoleh ke belakang. Namun, tak seorang pun menampakkan batang hidungnya. Setelah aku membalik badanku untuk kembali melangkah, dihadapanku terlihat sosok yang menggunakan pakaian menyerupai warna gula merah. Ternyata dialah orang yang memanggilku sejak tadi. Aneh kan? Tapi itulah fakta.

Terlupakan dalam es

Terlupakan Dalam Es Dalam kegelapan yang begitu sunyi, aku memberanikan diri   berjalan sendiri. Kuhentikan langkahku tepat di depan ruangan bercahaya. Aku memasuki ruangan penuh rak buku yang tersusun rapi itu. Kutemukan lagi kesunyian. Aku duduk di dalamnya tepat di depan layar persegi. Aku menunggu hingga segerombolan makhluk berkaki dua memasuki ruangan. Selang 15 menit, mereka datang satu-persatu. Dan akhirnya kami berkumpul juga. Lalu mata kami tertuju pada layar persegi yang cahayanya terpantul dari kotak ajaib. Beberapa teka-teki harus kami pecahkan di dalam sana. Kami harus memasukkan seekor jerapa ke dalam sebuah lemari es. Mustahilkah? Jawabannya tidak. Hanya cukup dengan membuka pintu kulkas dan jerapa dimasukkan ke dalamnya. Setelah jerapa berhasil masuk, seekor gajah tiba-tiba datang dan ingin masuk ke kotak persesi panjang. Terpaksa dikeluarkanlah si jerapah lalu masuklah gajah. Tak lama setelah itu, sang raja rimba mengadakan konferensi binatang. Akibatnya

Bintang

Titik Putih Berlatar Hitam Malam, sebuah kata yang rinci, namun memiliki makna yang meluas. Gelap, dingin, sunyi, mimpi, semuanya menyatu dalam sebuah perasaan. Dan ada banyak titik terang yang berkilau di atas sana, indah, memenuhi bulatan kecil hitam di mata sehingga tak mampu berkedip. Namun, ada sebuah problematika, dimana menggapainya tak semudah melihatnya. Bintang, di suatu malam kami berbagi cerita… Jam telah menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit. Aku membuka pintu lalu melangkah keluar dari ruangan yang penuh rak buku itu. Kemudian, berjalan menelusuri setapak jalan tanpa alas kaki, mengitari lapangan kosong yang diterpa sinar bulan. Malam yang gelap, dingin, dan agak bising. Karena aku tak berjalan sendiri. Bersama teman dan senior, aku berjalan di sekitar sekolah menembus kegelapan. Angin sejuk yang berhembus entah dari mana, barat, utara, timur, atau mungkin selatan. Namun tak kuhiraukan, karena rasanya seperti berhembus dari segala arah. Malam itu,